AWAN
BIRU
Bulan
ini aku kira musim panas akan segera datang, bahkan setengah bulan telah
berlalu namun rintikan hujan tetap membasahi bumi, apa daya jika musim hujan
enggan berganti dengan musim panas. Saat membuka mata dan terbangun dari tidur
aku selalu berharap hari ini akan berbeda dari hari kemarin meskipun harapan
itu nampak biasa, tapi takdir hanya memberiku kehidupan yang sama saja.
“non, den Rio sudah menunggu anda diluar”
ucap bibi mendekatiku
“bilang padanya aku pergi” kataku dengan
mengedipkan mata ke bibi
“apa kau sudah bosan padaku?, jelas-jelas kau
disini” terdengar suara Rio menyambung pembicaraan
“kak, aku pikir hari ini aku akan
menyelesaikannya sendiri, jadi biarkan aku melakukannya” pintaku memelas
“baiklah jika itu mau mu, aku harap kau
berhasil, tapi jika kau perlu bantuan jangan segan-segan menghubungi ku”
ucap Rio dengan pasti
Orang-orang
selalu memanggil ku Ana. Sebagai pekerja disalah satu galeri seni di Jakarta,
tugas ku untuk mencari dan memastikan barang seni yang dikehendaki pimpinan
galeri agar siap dipamerkan, bukan perkara mudah untuk mendapatkan barang
tersebut karena dibutuhkan keterampilan khusus untuk mendapatkannya, biasanya satu
barang diperebutkan oleh banyak galeri seni, apalagi jika barang tersebut
memiliki nilai seni dimata dunia, oleh sebab itu Rio selalu membantuku
mendapatkan barang seni yang harus ku dapatkan, dia bukan hanya senior ku
digalery art tapi dia juga temain terbaik, yang akan selalu sependapat dengan
apapun yang akan kutempuh
.......
“maaf, apa Pak Burhan ada didalam?”
tanyaku pada penjaga disebuah rumah berarsitektur kuno.
“oh iya, Pak Burhan ada didalam, maaf apa non ini sudah buat
janji?, soalnya Pak Burhan tidak ingin diganggu saat membuat tembikar”
selidik penjaga itu dengan sopan.
“bapak tidak perlu khawatir, saya sudah
membuat janji pada Pak Burhan,” jelasku meyakinkan.
Penjaga
rumah itupun mengantar ku kesebuah ruangan dipojok rumah, sebelum masuk ruangan
aku pikir tempat dibalik pintu didepanku hanya berukuran 55 m, namun setelah
masuk kedalam tembikar-tembikar antik berjajar rapi diruangan tersebut.
“Apa kabar pak
Burhan?, perkenalkan namaku Ana,” sapa ku dengan ramah
“oh.., kau sudah datang, pasti lelah harus
melakukan perjalanan jauh dari Jakarta ke Bali, duduklah dimeja itu, nanti
Parman akan membawakan mu teh, setelah dahaga mu hilang segera pergilah dari
tempat ini” terang pak Burhan dengan nada datar
“maaf pak, bukankah bapak tahu kedatangan ku
kesini untuk mengambil tembikar yang sudah saya pesan, lagi pula uangnya sudah
saya transfer ke rekening bapak bukan?” ucap ku agak bingung
“aku pikir untuk mengirim mu email
pembatalan pesanan, tapi kau pasti sudah dipesawat, jadi lebih baik kau lupakan
tembikar itu dan nikmatilahliburan mu di pulau bali yang indah”
jelas pak Burhan dengan ketus
“anda tidak boleh membatalkan pesanan sepihak
seperti ini, seminggu lagi tembikarnya harus siap dipamerkan, aku mohon pak
jangan batalkan pesanan ini” pintaku memelas
“kau tidak usah khawatir, aku sudah
mentransfer uang ganti rugi, kau bisa mencari tembikar itu ditempat lain” ucap
pak burhan sambil mengepal tanah liat “keluarlah sebelum aku mengusir mu”
lanjutnya dengan memicingkan mata.
Dengan berat hati aku keluar dari ruangan itu, badan ku
terasa lunglai tatkala aku harus pulang ke Jakarta tanpa membawa tembikar yang
begitu diinginkan bu Nara(pimpinan galery art), aku tidak mampu membayangkan
caci makian apa yang akan dilontarkan oleh wanita paruh baya itu, saat
keinginannya dipenuhi ia hanya mengernyitkan dahinya, tapi begitu harapannya
mengabur sumpah serapah tujuh turunan ia ucapkan dengan fasihnya, sebenarnya
sudah sangat lama aku ingin keluar dari galery art milik bu Nara, bermaksud
untuk mendirikan galery art sendiri namun tabungan ku belum cukup untuk mendanai
semuanya, sebenarnya ayah ku selalu membujukku untuk membuat galeri art
sendiri, tapi sampai kapan aku harus menjadi beban keluargaku, “aisshhh enyahlah pikiran itu dari otakku”
ucapku dengan menggelengkan kepala, .rasa dahaga yang mengerong tenggorokanku
seketika meminta untuk dibasahi, akupun mampir disebuah warung pinggir jalan
tak juh dari rumah pak Burhan
“maaf miss mau
pesan apa?”tanya pedagang itu ramah
“bapak ini bisa saja,
apa raut wajah lokal ku mengganggumu?” sindirku dengan tersenyum
“ah .. maaf, biasanya orang lokal suka sekali
jika dipanggil miss, agar setara dengan bule-bule katanya”terang pedagang
itu dengan guyonan
“achh.. benarkah?, oh iya aku pesan es kelapa
muda dengan tambahan gula jawa” ucapku sambil menunjuk jejeran stoples
berisi macam-macam sirup
“aku pikir kau akan memesan air kelapa plus
yoghurt, hahahhahha” ucap pedagang itu dengan tertawa keras dibelakangnya, tanpa
instruksi akupun tertawa keras senada dengan tawaan pedagang itu, sambil
membacok kelapa pedagang itu pun menginterogasiku dengan guyonan guyonan segar
“dari cara bicaranya, miss ini bukan orang
Bali ya?” tanya pedagang itu sambil mengusap peluh didahinya
“oh iya pak, saya dari Jakarta” ucap ku
singkat
“tempat ini tidak terkenal dan semenarik di
kuta, tapi hanya orang-orang beruntung yang mengunjunginya,” terang
pedagang itu dengan yakin
“aku pikir juga demikian, dibanding tempat
lain tempat ini terlihat lebih asri dan sakral” tambahku basa basi
“aku lihat miss ini sedang penuh dengan
amarah, oh iyaa.. dibelakang warung ini ada pancuran kecil,mungkin dengan
membasuh wajah, perasaan miss ini bisa lebih baik” terang pedagang itu
memberitahuku
“acchhh tidak usah pak, lagi pula amarah ini
tidak bisa hilang hanya dengan membasuh muka” ucap ku lirih
“ini es kelapa mudanya sudah siap” ucap
pedagang itu dengan menyodorkan sebuah kelapa yang sudah berlubang bagian
atasnya
“ohh terimakasih pak, tapi ngomong-ngomong
apa bapak kenal dengan orang yang tinggal dirumah seberang jalan itu?”
tanyaku sambil mengacungkan tangan kerumah pak Burhan
“tentu saja, sewaktu kecil saya sering main
kerumah besar itu, meskipun pemiliknya orang kaya namun mereka senang jika ada
orang mengunjunginya” jelas pedagang itu
“benarkah??” ucap ku dengan nada tak
percaya
“tapi....” ucap pedagang itu menggantung kalimat yang ingin
diucapkan
“tapi apa pak?” sambungku penasaran
“tapi sekarang tidak lagi” sambung pedagang itu lagi
“kenapa tidak lagi?, apa ada yang salah?”
tanyaku semakin penasaran
“sebenarnya pemilik rumah itu bukan asli
orang Bali, dari namanya saja sudah tahu, namun mereka tetap menghormati tetangga-tetangganya,
entah kenapa sejak pemilik pertama meninggal dan diwariskan ke anaknya yang
bernama Burhan, keluarga itu menjadi lebih tertutup, dengar-dengar sih karena
Burhan terlilit banyak hutang, sedangkan tembikar buatannya tak sebagus buatan
ayahnya, alhasil ia hanya bisa menjual tembikar-tembikar buatan ayahnya untuk
menutupi hutangnya, rumahnya selalu tertup, jika ada tamu itupun orang-orang
barat dan orang-orang bermata sipit, aku kira mereka bertamu untuk membeli
tembikar-tembikar buatan ayahnya ” terang pedagang itu
“benarkah??” ucapku menyambung
pembicaraan, “terimakasih atas infonya,
ini pak uang esnya, kembaliannya utuk bapak saja” ucapku mengakhiri
pembicaran
“oohh, terimakasih banyak” ucap pedagang
itu riang sambil mengambil uang seratus ribuan dari tangan ku
........
“aku menggajimu bukan untuk mendengar berita ini, dasar kau tak becus
kerja,aku pikir kau berbeda dari pecundang-pecundang lain, tapi ternyata kau
sama saja, bagaimana aku bisa memiliki anak buah yang tak lebih baik dari
seekor anjing”teriak bu Nara penuh amarah, aku yang sedari tadi hanya
menundukkan kepala, tak kuat rasanya mendengar ucapan kalimat terakhirnya,
dengan sigap aku pun mengangkat kepalaku dan memasang badan tegap
“aku bekerja tidak untuk dihina seperti ini, jika aku salah kau berhak
memarahiku, tapi kata-kata mu barusan tidak pantas diucapkan oleh manusia,
bahkan jika aku seorang budak aku pasti tak akan rela dihina seperti ini ”
ucapku membela diriku sendiri, akupun segera pergi dari tempat itu
“jika kau tak mau dihina keluarlah dari pekerjaan mu ini, aku juga tak
sudi bekerja dengan orang sombong seperti mu ” teriak bu Nara sekencang
mungkin agar aku bisa mendengarnya ucapannya
.......
Sesampai dirumah aku
hanya tertegun dan melamunkan kejadian saat aku meninggalkan galery art milik
bu Nara, jika begini haruskah aku menjadi pengangguran lagi, bahkan di Jakarta
yang biasa disebut sebagai kota metropolitan akan sangat sulit mencari
pekerjaan, apalagi lulusan sarjana seni seperti ku, malang tak bisa dibuang
untung tak bisa dijemput, hanya dapat menunggu nasib baik mendatangiku
“tidak biasanya kau berlama-lamaan memandangi tv yang penuh dengan
iklan, apa kau ada masalah?” tanya ibuku memecah lamunanku
“tidak” jawabku singkat, akupun langsung menuju kekamar berharap ibu
tak lagi mengganggu diriku yang sedang dilanda kecemasan
“kau bukan anak kecil lagi kan?, sekarang katakan pada ibu, masalah apa
yang sedang kau sembunyikan” ucapku ibuku lirih untuh meyakinkanku
“sebenarnya aku dipecat
dari galery art, tidak aku yang justru ingin pergi dari neraka itu” ucapku
setengah ragu
“benarkah?,
akhirnya kau sadar juga, akan ada saatnya bekerja itu sungguh melelahkan, tapi
bagaimana bisa manusia hidup tanpa bekerja, terkadang mereka yang berada
diposisi tinggi akan merasa dirinya bisa memutar dunia, namun disisi lain dia
juga akan merasa ketakutan jika apa yang ada pada dirinya dicabut atas
kepemilikannya, oleh sebab itu tindakan yang dirasa wajar unuk dirinya tak lagi
dianggap sama oleh orang kebanyakan, jadi ibu harap kau bisa memahami itu Ana ”
jelas ibuku, aku hanya terpana mendengar kata-kata ibu yang mampu menghilangkan
kegelisahan hati ku
“apa ibu pernah mengalaminya?” tanyaku ingin tahu
“tentu, semua orang pernah mengalaminya, bahkan kau juga pernah
mengalaminya, hanya saja tindakan setiap orang berbeda-beda, jika kau mampu
mengatasinya maka keegoisan yang kau tampakkan akan dianggap lumrah oleh
kebnyakan orang, tapi jika keegoisan yang kau tampakkan melebihi dari kekuatan
amarah yang bisa kau tanggung maka itu hanya akan menjadi kelemahan yang bahkan
takdir pun tak akan mampu mengubahnya” jelas ibu ku lagi.
........
Pagi telah menjelang,
namun apa yang bisa dilakukan pengangguran seperti ku, tiba-tiba ada seseorang
yang mengetuk pintu kamarku
“tok tok tok,,, Ana bangunlah sekarang, Rio sudah menunggumu diluar”
pinta ibuku
“ya bu” jawabku singkat, akupun bangkit dari ranjang dan mengambil
ikatan rambut dibawah bantal, dengan wajah kusut akupun menemui Rio diluar,
dengan menahan rasa kantuk yang masih menguasai ragaku
“kenapa pagi-pagi sekali kau kemari” tanyaku pada Rio
“bagaimana bisa kau meninggalkan galery art tanpa memberi tahuku,
bukankah sebelumnya kau sudah tahu tabi’at keras bu Nara, kau sama kerasnya
dengan dia” ucap Rio tanpa canggung
“ya, kau benar aku memang keras, tapi aku tidak bisa berdiam diri saat
orang merendahkan harga diriku” ucapku membela
“sekarang apa yang akan kau lakukan” tanya Rio penasaran, aku hanya
tertawa kecil mendengar pertanyaan yang keluar dari mulutnya
“apa kau pikir aku sedang melucu,” hardik Rio padaku
“untuk saat ini aku hanya bisa menjadi pengangguran, aku rasa mencari
pekerjaan yang sesuai dengan keinginankku sangat sulit, jadi aku pikir untuk
membuat pekerjaan untuk diriku sendiri”jelas ku dengan yakin
“syukurlah jika pikiranmu masih waras,” ledek Rio
“aisshhh apa kau kira aku mudah stres hanya karena masalah ini,”
ucapku membanggakan diri,
Rio pun pamit pulang,
aku merasa layak untuk hidup tatkala ada orang lain yang mengkhawatirkan ku
kecuali keluarga ku sendiri, seseorang berhak untuk hidup dengan caranya
sendiri, entah hanya cukup merasa senang atas pujian, atau menyelesaikan
masalah hidup dengan memberikan masalah dikehidupan orang lain, atau bahkan
bertahan hidup dengan keegoisan yang menjadi kelemahan tak berujung, seperti
itulah manusia hidup, tanpa ada warna biru bagaimana bisa anak kecil menggambar
awan, jikapun hanya ada warna putih tanpa warna hitam maka perajin papan catur
harus mencari warna lain untuk menjaga eksistensinya, perbedaan memanglah
rumit, tapi kerumitanlah yang membuat dunia ini tetap ada.
,,,,,,,....AWAN
BIRU
Bulan
ini aku kira musim panas akan segera datang, bahkan setengah bulan telah
berlalu namun rintikan hujan tetap membasahi bumi, apa daya jika musim hujan
enggan berganti dengan musim panas. Saat membuka mata dan terbangun dari tidur
aku selalu berharap hari ini akan berbeda dari hari kemarin meskipun harapan
itu nampak biasa, tapi takdir hanya memberiku kehidupan yang sama saja.
“non, den Rio sudah menunggu anda diluar”
ucap bibi mendekatiku
“bilang padanya aku pergi” kataku dengan
mengedipkan mata ke bibi
“apa kau sudah bosan padaku?, jelas-jelas kau
disini” terdengar suara Rio menyambung pembicaraan
“kak, aku pikir hari ini aku akan
menyelesaikannya sendiri, jadi biarkan aku melakukannya” pintaku memelas
“baiklah jika itu mau mu, aku harap kau
berhasil, tapi jika kau perlu bantuan jangan segan-segan menghubungi ku”
ucap Rio dengan pasti
Orang-orang
selalu memanggil ku Ana. Sebagai pekerja disalah satu galeri seni di Jakarta,
tugas ku untuk mencari dan memastikan barang seni yang dikehendaki pimpinan
galeri agar siap dipamerkan, bukan perkara mudah untuk mendapatkan barang
tersebut karena dibutuhkan keterampilan khusus untuk mendapatkannya, biasanya satu
barang diperebutkan oleh banyak galeri seni, apalagi jika barang tersebut
memiliki nilai seni dimata dunia, oleh sebab itu Rio selalu membantuku
mendapatkan barang seni yang harus ku dapatkan, dia bukan hanya senior ku
digalery art tapi dia juga temain terbaik, yang akan selalu sependapat dengan
apapun yang akan kutempuh
.......
“maaf, apa Pak Burhan ada didalam?”
tanyaku pada penjaga disebuah rumah berarsitektur kuno.
“oh iya, Pak Burhan ada didalam, maaf apa non ini sudah buat
janji?, soalnya Pak Burhan tidak ingin diganggu saat membuat tembikar”
selidik penjaga itu dengan sopan.
“bapak tidak perlu khawatir, saya sudah
membuat janji pada Pak Burhan,” jelasku meyakinkan.
Penjaga
rumah itupun mengantar ku kesebuah ruangan dipojok rumah, sebelum masuk ruangan
aku pikir tempat dibalik pintu didepanku hanya berukuran 55 m, namun setelah
masuk kedalam tembikar-tembikar antik berjajar rapi diruangan tersebut.
“Apa kabar pak
Burhan?, perkenalkan namaku Ana,” sapa ku dengan ramah
“oh.., kau sudah datang, pasti lelah harus
melakukan perjalanan jauh dari Jakarta ke Bali, duduklah dimeja itu, nanti
Parman akan membawakan mu teh, setelah dahaga mu hilang segera pergilah dari
tempat ini” terang pak Burhan dengan nada datar
“maaf pak, bukankah bapak tahu kedatangan ku
kesini untuk mengambil tembikar yang sudah saya pesan, lagi pula uangnya sudah
saya transfer ke rekening bapak bukan?” ucap ku agak bingung
“aku pikir untuk mengirim mu email
pembatalan pesanan, tapi kau pasti sudah dipesawat, jadi lebih baik kau lupakan
tembikar itu dan nikmatilahliburan mu di pulau bali yang indah”
jelas pak Burhan dengan ketus
“anda tidak boleh membatalkan pesanan sepihak
seperti ini, seminggu lagi tembikarnya harus siap dipamerkan, aku mohon pak
jangan batalkan pesanan ini” pintaku memelas
“kau tidak usah khawatir, aku sudah
mentransfer uang ganti rugi, kau bisa mencari tembikar itu ditempat lain” ucap
pak burhan sambil mengepal tanah liat “keluarlah sebelum aku mengusir mu”
lanjutnya dengan memicingkan mata.
Dengan berat hati aku keluar dari ruangan itu, badan ku
terasa lunglai tatkala aku harus pulang ke Jakarta tanpa membawa tembikar yang
begitu diinginkan bu Nara(pimpinan galery art), aku tidak mampu membayangkan
caci makian apa yang akan dilontarkan oleh wanita paruh baya itu, saat
keinginannya dipenuhi ia hanya mengernyitkan dahinya, tapi begitu harapannya
mengabur sumpah serapah tujuh turunan ia ucapkan dengan fasihnya, sebenarnya
sudah sangat lama aku ingin keluar dari galery art milik bu Nara, bermaksud
untuk mendirikan galery art sendiri namun tabungan ku belum cukup untuk mendanai
semuanya, sebenarnya ayah ku selalu membujukku untuk membuat galeri art
sendiri, tapi sampai kapan aku harus menjadi beban keluargaku, “aisshhh enyahlah pikiran itu dari otakku”
ucapku dengan menggelengkan kepala, .rasa dahaga yang mengerong tenggorokanku
seketika meminta untuk dibasahi, akupun mampir disebuah warung pinggir jalan
tak juh dari rumah pak Burhan
“maaf miss mau
pesan apa?”tanya pedagang itu ramah
“bapak ini bisa saja,
apa raut wajah lokal ku mengganggumu?” sindirku dengan tersenyum
“ah .. maaf, biasanya orang lokal suka sekali
jika dipanggil miss, agar setara dengan bule-bule katanya”terang pedagang
itu dengan guyonan
“achh.. benarkah?, oh iya aku pesan es kelapa
muda dengan tambahan gula jawa” ucapku sambil menunjuk jejeran stoples
berisi macam-macam sirup
“aku pikir kau akan memesan air kelapa plus
yoghurt, hahahhahha” ucap pedagang itu dengan tertawa keras dibelakangnya, tanpa
instruksi akupun tertawa keras senada dengan tawaan pedagang itu, sambil
membacok kelapa pedagang itu pun menginterogasiku dengan guyonan guyonan segar
“dari cara bicaranya, miss ini bukan orang
Bali ya?” tanya pedagang itu sambil mengusap peluh didahinya
“oh iya pak, saya dari Jakarta” ucap ku
singkat
“tempat ini tidak terkenal dan semenarik di
kuta, tapi hanya orang-orang beruntung yang mengunjunginya,” terang
pedagang itu dengan yakin
“aku pikir juga demikian, dibanding tempat
lain tempat ini terlihat lebih asri dan sakral” tambahku basa basi
“aku lihat miss ini sedang penuh dengan
amarah, oh iyaa.. dibelakang warung ini ada pancuran kecil,mungkin dengan
membasuh wajah, perasaan miss ini bisa lebih baik” terang pedagang itu
memberitahuku
“acchhh tidak usah pak, lagi pula amarah ini
tidak bisa hilang hanya dengan membasuh muka” ucap ku lirih
“ini es kelapa mudanya sudah siap” ucap
pedagang itu dengan menyodorkan sebuah kelapa yang sudah berlubang bagian
atasnya
“ohh terimakasih pak, tapi ngomong-ngomong
apa bapak kenal dengan orang yang tinggal dirumah seberang jalan itu?”
tanyaku sambil mengacungkan tangan kerumah pak Burhan
“tentu saja, sewaktu kecil saya sering main
kerumah besar itu, meskipun pemiliknya orang kaya namun mereka senang jika ada
orang mengunjunginya” jelas pedagang itu
“benarkah??” ucap ku dengan nada tak
percaya
“tapi....” ucap pedagang itu menggantung kalimat yang ingin
diucapkan
“tapi apa pak?” sambungku penasaran
“tapi sekarang tidak lagi” sambung pedagang itu lagi
“kenapa tidak lagi?, apa ada yang salah?”
tanyaku semakin penasaran
“sebenarnya pemilik rumah itu bukan asli
orang Bali, dari namanya saja sudah tahu, namun mereka tetap menghormati tetangga-tetangganya,
entah kenapa sejak pemilik pertama meninggal dan diwariskan ke anaknya yang
bernama Burhan, keluarga itu menjadi lebih tertutup, dengar-dengar sih karena
Burhan terlilit banyak hutang, sedangkan tembikar buatannya tak sebagus buatan
ayahnya, alhasil ia hanya bisa menjual tembikar-tembikar buatan ayahnya untuk
menutupi hutangnya, rumahnya selalu tertup, jika ada tamu itupun orang-orang
barat dan orang-orang bermata sipit, aku kira mereka bertamu untuk membeli
tembikar-tembikar buatan ayahnya ” terang pedagang itu
“benarkah??” ucapku menyambung
pembicaraan, “terimakasih atas infonya,
ini pak uang esnya, kembaliannya utuk bapak saja” ucapku mengakhiri
pembicaran
“oohh, terimakasih banyak” ucap pedagang
itu riang sambil mengambil uang seratus ribuan dari tangan ku
........
“aku menggajimu bukan untuk mendengar berita ini, dasar kau tak becus
kerja,aku pikir kau berbeda dari pecundang-pecundang lain, tapi ternyata kau
sama saja, bagaimana aku bisa memiliki anak buah yang tak lebih baik dari
seekor anjing”teriak bu Nara penuh amarah, aku yang sedari tadi hanya
menundukkan kepala, tak kuat rasanya mendengar ucapan kalimat terakhirnya,
dengan sigap aku pun mengangkat kepalaku dan memasang badan tegap
“aku bekerja tidak untuk dihina seperti ini, jika aku salah kau berhak
memarahiku, tapi kata-kata mu barusan tidak pantas diucapkan oleh manusia,
bahkan jika aku seorang budak aku pasti tak akan rela dihina seperti ini ”
ucapku membela diriku sendiri, akupun segera pergi dari tempat itu
“jika kau tak mau dihina keluarlah dari pekerjaan mu ini, aku juga tak
sudi bekerja dengan orang sombong seperti mu ” teriak bu Nara sekencang
mungkin agar aku bisa mendengarnya ucapannya
.......
Sesampai dirumah aku
hanya tertegun dan melamunkan kejadian saat aku meninggalkan galery art milik
bu Nara, jika begini haruskah aku menjadi pengangguran lagi, bahkan di Jakarta
yang biasa disebut sebagai kota metropolitan akan sangat sulit mencari
pekerjaan, apalagi lulusan sarjana seni seperti ku, malang tak bisa dibuang
untung tak bisa dijemput, hanya dapat menunggu nasib baik mendatangiku
“tidak biasanya kau berlama-lamaan memandangi tv yang penuh dengan
iklan, apa kau ada masalah?” tanya ibuku memecah lamunanku
“tidak” jawabku singkat, akupun langsung menuju kekamar berharap ibu
tak lagi mengganggu diriku yang sedang dilanda kecemasan
“kau bukan anak kecil lagi kan?, sekarang katakan pada ibu, masalah apa
yang sedang kau sembunyikan” ucapku ibuku lirih untuh meyakinkanku
“sebenarnya aku dipecat
dari galery art, tidak aku yang justru ingin pergi dari neraka itu” ucapku
setengah ragu
“benarkah?,
akhirnya kau sadar juga, akan ada saatnya bekerja itu sungguh melelahkan, tapi
bagaimana bisa manusia hidup tanpa bekerja, terkadang mereka yang berada
diposisi tinggi akan merasa dirinya bisa memutar dunia, namun disisi lain dia
juga akan merasa ketakutan jika apa yang ada pada dirinya dicabut atas
kepemilikannya, oleh sebab itu tindakan yang dirasa wajar unuk dirinya tak lagi
dianggap sama oleh orang kebanyakan, jadi ibu harap kau bisa memahami itu Ana ”
jelas ibuku, aku hanya terpana mendengar kata-kata ibu yang mampu menghilangkan
kegelisahan hati ku
“apa ibu pernah mengalaminya?” tanyaku ingin tahu
“tentu, semua orang pernah mengalaminya, bahkan kau juga pernah
mengalaminya, hanya saja tindakan setiap orang berbeda-beda, jika kau mampu
mengatasinya maka keegoisan yang kau tampakkan akan dianggap lumrah oleh
kebnyakan orang, tapi jika keegoisan yang kau tampakkan melebihi dari kekuatan
amarah yang bisa kau tanggung maka itu hanya akan menjadi kelemahan yang bahkan
takdir pun tak akan mampu mengubahnya” jelas ibu ku lagi.
........
Pagi telah menjelang,
namun apa yang bisa dilakukan pengangguran seperti ku, tiba-tiba ada seseorang
yang mengetuk pintu kamarku
“tok tok tok,,, Ana bangunlah sekarang, Rio sudah menunggumu diluar”
pinta ibuku
“ya bu” jawabku singkat, akupun bangkit dari ranjang dan mengambil
ikatan rambut dibawah bantal, dengan wajah kusut akupun menemui Rio diluar,
dengan menahan rasa kantuk yang masih menguasai ragaku
“kenapa pagi-pagi sekali kau kemari” tanyaku pada Rio
“bagaimana bisa kau meninggalkan galery art tanpa memberi tahuku,
bukankah sebelumnya kau sudah tahu tabi’at keras bu Nara, kau sama kerasnya
dengan dia” ucap Rio tanpa canggung
“ya, kau benar aku memang keras, tapi aku tidak bisa berdiam diri saat
orang merendahkan harga diriku” ucapku membela
“sekarang apa yang akan kau lakukan” tanya Rio penasaran, aku hanya
tertawa kecil mendengar pertanyaan yang keluar dari mulutnya
“apa kau pikir aku sedang melucu,” hardik Rio padaku
“untuk saat ini aku hanya bisa menjadi pengangguran, aku rasa mencari
pekerjaan yang sesuai dengan keinginankku sangat sulit, jadi aku pikir untuk
membuat pekerjaan untuk diriku sendiri”jelas ku dengan yakin
“syukurlah jika pikiranmu masih waras,” ledek Rio
“aisshhh apa kau kira aku mudah stres hanya karena masalah ini,”
ucapku membanggakan diri,
Rio pun pamit pulang,
aku merasa layak untuk hidup tatkala ada orang lain yang mengkhawatirkan ku
kecuali keluarga ku sendiri, seseorang berhak untuk hidup dengan caranya
sendiri, entah hanya cukup merasa senang atas pujian, atau menyelesaikan
masalah hidup dengan memberikan masalah dikehidupan orang lain, atau bahkan
bertahan hidup dengan keegoisan yang menjadi kelemahan tak berujung, seperti
itulah manusia hidup, tanpa ada warna biru bagaimana bisa anak kecil menggambar
awan, jikapun hanya ada warna putih tanpa warna hitam maka perajin papan catur
harus mencari warna lain untuk menjaga eksistensinya, perbedaan memanglah
rumit, tapi kerumitanlah yang membuat dunia ini tetap ada.
,,,,,,,....